Oleh: Ahmad Ismail, S.Sos.,M.Si
(Ketua Asosiasi Antropologi Indonesia (AAI) Pengda Sulsel, Dosen Departemen Antropologi FISIP Unhas)
PORTALMAKASSAR.COM – Saat ini sedang viral, telah ditetapkan otak dari kasus pembunuhan yang dilakukan oleh Kasatpol PP Kota Makassar kepada Pegawai Dishub Kota Makassar.
Pembunuhan ini diduga dilatar belakangi bukan karena utang piutang, bisnis, apalagi masalah keluarga, namun justru hal yang tidak diduga ialah diakibatkan oleh Cinta Segitiga.
Kejadian pembunuhan yang dilatarbelakangi oleh cinta segitiga memang banyak terjadi di Indonesia, namun tentu, kejadian ini sangat jarang terjadi di masyarakat Bugis-Makassar, apalagi ini dilakukan oleh ASN Kota Makassar.
Dalam falsafah Bugis-Makassar, ada fasalah yang ditanamkan oleh orang tua kepada anaknya sebagai bekal untuk melakukan perantauan. Dalam pesan leluhur Bugis-Makassar (pappasang to riolo) dikatakan bahwa: “Nia tallu cappa’ bokonna to lampaiyya, iyamintu: Cappa’ lila, Cappa’ laso, Cappa’ badi’. (Ada tiga ujung yang harus menjadi bekal bagi yang merantau, yaitu ujung lidah, ujung kemaluan, dan ujung badik).
Falsafah ini terdengar fulgar dan sadis, namun sesungguhnya Falsafah ini tentunya bernilai positif, dan menjadi nilai budaya bagi anak Bugis-Makassar dalam perantauan sebagai identitas budaya mereka.
Tallu Cappa merupakan sebuah proses negosiasi dan adaptasi untuk bertahan hidup. Dalam kondisi apapun yang terjadi, falsafah ini relevan untuk diimplementasikan untuk bernegosiasi dan beradaptasi dalam setiap setting social budaya yang ada.
Cappa yang pertama ialah, sorongi lilanu (dahulukan lidahmu), apabila keadaan masih bisa diselesaikan atau dikendalikan dengan cara berucap atau berdiplomasi, jika hal ini gagal, maka Cappa yang kedua adalah sorongi lasonu, (majukan kelaminmu) dengan maksud kawini putri raja, ketua adat, tokoh masyarakat.
Jika hal tersebut masih gagal pula, maka cappa yang terakhir adalah sorongi badi’nu (majukan badikmu), berperang, atau tundukkan dengan perkelahian. Falsafah ini merupakan tahapan untuk melakukan penaklukan dalam keadaan apapun. Konsep tallu cappa tersebut sangat beriringan dengan budaya siri’ na pacce (rasa malu dan kesetiakawanan).
Dalam perspektif diatas, falsafah yang baik ini tentu tidak relevan menyandingkan kasus pembunuhan yang dilakukan oleh Kepala Satpol PP Kota Makassar, namun ada beberapa spirit dari falsafah tersebut yang diadopsi untuk menjustifikasi secara sepihak tindakannya khususnya bagi pelaku.
Cappa’ badik (perkelahian, pembunuhan) yang ditempuh oleh pelaku untuk menaklukan musuhnya menjadi jalan pintas untuk mempertahankan keyakinannya akibat cintanya diusik. Nilai siri’ na pacce (rasa malu) yang mulia itu didefinisikan keliru oleh pelaku yang menjadi melapetaka untuknya.
Menurut Andika Wahyudi Gani, Nilai budaya Siri’ na Pacce menjadi prinsip pembentuk kesadaran hukum masyarakat Bugis-Makassar. Nilai Siri’ na Pacce ini dalam masyarakat Bugis-Makassar mengajarkan tentang moralitas kesusilaan berupa ajaran, larangan, hak dan kewajiban yang mendominasi tindakan manusia untuk menjaga serta mempertahankan kehormatannya. Definisi yang arif tentang siri’ na pacce itu disalah artikan oleh pelaku. Mempertahankan kemapanan atas cinta segitiganya menjadikan pelaku menegakkan kehormatan yang semu.
Kehormatan yang tidak pada tempatnya, yang tidak pada hakekatnya. Pada akhirnya, aebagai anak Celebes, pelaku wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya. (**)