Oleh: Lely Herawati
(Guru SMK di Kab. Pangkep)
Terbit sudah Surat Edaran (SE) Perpanjangan masa BDR (Belajar di Rumah) untuk instansi pendidikan di lingkup Provinsi Sulawesi Selatan, kemarin (29/05/2020). Tapi ada yang lucu di SE kali ini, perpanjangannya terhitung mulai tanggal 30 Mei – 04 Juni 2020.
Tidak sampai 1 pekan alias 5 hari saja, padahal SE sebelumnya selalu menerapkan masa perpanjangan 14 hari. Ada apakah gerangan? Terang saja hal itu menimbulkan kegaduhan di kalangan praktisi pendidikan mulai dari level PAUD hingga perguruan tinggi di Sulawesi Selatan.
Surat Edaran tersebut senada dengan kabar bahwa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menegaskan tahun ajaran baru 2020/2021 akan tetap dimulai pada tanggal 13 Juli 2020. Dimulainya tahun ajaran baru tanggal 13 Juli 2020 bukan berarti siswa belajar di sekolah. Keputusan belajar di sekolah akan terus dikaji berdasarkan rekomendasi Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. (Tribunjakarta.com, 29/05/2020)
Beredarnya kabar tersebut sontak membuat heboh emak-emak. Bagaimana tidak, di kala peta persebaran virus yang mencapai puncaknya saja belum, pemerintah terkesan ceroboh memutuskan hidup berdamai dengan Corona dengan konsep new normal life. Emak-emak galau jika harus melepas kepergian anak-anak ke sekolah meski rencananya akan diterapkan protokol kesehatan secara ketat. Bertebaranlah petisi pengumpulan tanda tangan menolak kebijakan Kemendikbud tersebut yang digagas oleh kalangan emak-emak.
Tak ketinggalan seorang Komisioner KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) Bidang Pendidikan Retno Listyarti secara pribadi menyebarkan angket yang berisi 10 pertanyaan terkait rencana sekolah dibuka saat masa pandemi Covid-19. Angket tersebut disebarkan untuk memperoleh pendapat dari siswa, guru, dan orang tua terkait dengan wacana pemerintah yang akan membuka kegiatan belajar mengajar (KBM) secara tatap muka. Hasilnya, baru 32 jam dibuka, animo untuk mengisi angket tersebut cukup baik. Sedikitnya sebanyak 9.643 orang siswa ikut berpartisipasi mengisi angket tersebut. Sementara guru sebanyak 18.112 orang, dan orang tua mencapai 196.559 orang.
Hal menarik disampaikan Retno setelah mendapatkan hasil angket tersebut. Ternyata, lanjut Retno, 80% dari responden orang tua menolak sekolah dibuka kembali di tengah pandemi Covid-19 ini. Sebaliknya, 80% siswa setuju sekolah dibuka kembali. Ia menambahkan, mayoritas orang tua yang menolak menyekolahkan kembali anaknya dikarenakan mereka khawatir anaknya terpapar Covid-19. Ditambah lagi, orang tua meragukan kesiapan sekolah dalam menerapkan protokol kesehatan yang ketat.
“Para orang tua, yang tidak setuju mayoritas mereka meragukan sekolah siap menerapkan protokol kesehatan yang ketat. Lantaran secara infrastruktur itu siap, apakah wastafel, sabun, dan tisu siap?” paparnya. Sementara bagi mayoritas siswa mengaku dirinya merasa jenuh dalam mengikuti proses kegiatan belajar secara daring. Sehingga mereka lebih memilih belajar tatap muka di sekolah.(Prfmnews.id, 29/05/2020)
Melepas anak di tengah wabah memang bagai melepas rusa di tengah kawanan singa. Yakin saja tidak ada orang tua yang mau mengambil risiko, sekalipun protokol kesehatan akan diterapkan secara ketat. Siapa bisa menjamin anak-anak bisa menjaga dirinya ketika di luaran sana, jangankan level PAUD yang jelas-jelas masih harus banyak didampingi, level perguruan tinggi saja tidak ada yang bisa menjamin.
Banyak faktor sebenarnya yang menyebabkan emak-emak galau dengan keputusan Kemendikbud ini. Selain karena jumlah persebaran virus yang masih tinggi, ketidakjelasan masalah penanganan pandemi juga masih menghantui sebagian besar masyarakat termasuk emak-emak. Setelah viral tagar #IndonesiaTerserah, para petinggi negeri pun tak menunjukkan empati dan keteladanan dalam menerapkan protokol kesehatan.
Semoga Pak Menteri masih membuka mata hati dan telinganya untuk mendengar rintihan masyarakat kecil. Tidak mengorbankan generasi demi terpenuhinya pesanan korporasi asing dan aseng.
Wallaahu a’lam.