Oleh :
M. Ridha Rasyid
Praktisi dan Pemerhati Pemerintahan
PORTALMAKASSAR.COM – Tadinya saya ingin menggunakan istilah kebocoran, tetapi sahabat saya menyanggah bahwa itu bukan sekedar bocor tetapi amblas. Betapa tidak, potensi yang dimiliki setiap Kabupaten/Kota dengan pelaku usaha beragam dan cukup banyak, tentu akan menjadi sumber pendapatan yang gede pula.
Namun, tidak disertai dengan upaya upaya yang kongkrit untuk mengeksplor dan dengan manajemen yang rapi serta terukur, sehingga menimbulkan mal-administrasi yang kacau.
Dalam Undang Undang No 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah Pasal 2 ayat 2 berbunyi , Jenis Pajak kabupaten/kota terdiri atas: a. Pajak Hotel; b. Pajak Restoran; c. Pajak Hiburan; d. Pajak Reklame; e. Pajak Penerangan Jalan; f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan; g. Pajak Parkir; h. Pajak Air Tanah; i. Pajak Sarang Burung Walet; j. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Dari seluruh jenis pajak yang menjadi kewenangan daerah Kabupaten/Kota ini, maka dapatlah diperkirakan berapa potensi pendapatan yang dapat diperoleh, terlebih lagi pajak daerah ini menjadi sumber utama pendapatan asli daerah (PAD).
Dari target perolehan pendapatan asli daerah setiap tahunnya mengalami revisi dalam kerangka peningkatan pendapatan. Koreksi positif itu diperkirakan bisa tercapai.
Kalau kita telusuri terjadinya defisit anggaran itu disebabkan beberapa faktor, pertama, bahwa penetapan target capaian tidak mencerminkan upaya dan usaha yang akan dilakukan untuk memaksimalkan perolehan pajak dari seluruh jenis pajak.
Taksasi pajak banyak tergantung dari rangkaian jenis usaha yang dilakukan pelaku usaha dan respon daya beli masyarakat serta jenis transaksi obyek kena pajak, kedua, ketaatan wajib pajak untuk memenuhi pembayaran pajaknya, ketiga, upah pungut oleh pengumpul pajak dan pendapatan lainnya tidak melalui mekanisme terukur, keempat, adanya kongkalikong antara wajib pajak dan petugas pajak. Mungkin hal yang terakhir disebut ini merupakan “lagu lama” , tetapi celakanya tidak pernah dapat diselesaikan.
Bahkan, terjadi pembiaran terstruktur sehingga tidak pernah mencapai target. Pada saat yang sama wajib pajak selalu berusaha berkelit dan mencari celah untuk bisa “berdamai” dengan petugas pajak. Sementara itu pembiayaan pembangunan dan kemasyarakatan khususnya dalam penyediaan pelayanan dasar yang wajib disediakan pemerintah bertambah besar setiap tahun.
KORSUPGAH-KPK
ADA yang menarik dan juga menyemangati kabupaten/kota juga propinsi dalam rentang satu tahun terakhir, dimana Komisi Pemberantasan Korupsi membentuk Koordinator Supervisi dan Pencegahan di beberapa daerah di Indonesia. Tim yang dibentuk ini selain bertugas melakukan pengawasan terhadap penggunaan anggaran pemerintah, juga mendorong pemerintah daerah melakukan pendataan aset daerah, melakukan supervisi terhadap upaya peningkatan pendapatan daerah, melakukan monitoring penggunaan anggaran daerah serta mengedukasi aparatur sipil negara di daerah untuk melaksanakan proyek proyek pemerintah ataupun swasta yang menggunakan anggaran negara.
Ada dua aspek yang kita garis bawahi dalam penugasan Korsupgah-KPK, pertama secara tegas mengembalikan aset aset daerah baik itu berupa fasum, fasos ataupun aset daerah lainnya yang dikuasai oleh perorangan maupun korporasi serta mendorong pelaku usaha untuk menaati kewajiban pajak mereka. Dan khusus di Sulawesi Selatan termasuk kota Makassar, tentunya, sejumlah aset daerah yang belum diserahkan atau masih dalam penguasaan pihak ketiga secara bertahap sudah dikembalikan atau dalam proses pengembalian.
Di samping itu, untuk mendorong peningkatan pendapatan daerah, Korsupgah-KPK bersama Satpol PP membentuk tim Buser Pajak.
Pajak dan PAD Kota Makassar
Sebagai kota dengan potensi pajak terbesar dan pusat pemerintahan di Sulawesi Selatan Kota Makassar merupakan bahan analisa tulisan ini, betapa tidak, oleh karena Kota Makassar daerah pertama yang memasang target pendapatan asli daerah satu triliun rupiah sejak tahun 2017 dan hingga 2019 target perolehan pendapatan asli daerah tersebut selalu dibawah target.
Meskipun tidak pernah secara maksimal mencapai target sesungguhnya, tetapi sangat memungkinkan untuk bisa melebihi target itu sendiri.
Permasalahan yang dihadapi dalam tiga tahun terakhir sejak 2017 menunjukkan indikasi kekurangan yang ditemui tidak dikelola secara baik. Masih banyak potensi pajak yang justru tidak tersentuh. Terlepas dari adanya sinyalemen “permainan” bisa jadi pula memang tidak ada upaya kongkrit untuk merumuskannya secara apik agar itu bisa menjadi sumber pendapatan. Kalau bisa kita simpulkan sementara bahwa ada tiga faktor yang menyebabkan pendapatan asli daerah kota Makassar tidak mampu mencapai target yang ditetapkan, pertama, data wajib pajak baru tidak teroptimalisasi, kedua, wajib pajak tidak taat pajak atau paling tidak, ada wajib pajak “bermain mata” dengan petugas pajak untuk tidak membayar sesuai dengan potensi usahanya, ketiga, tidak adanya pengawasan yang kuat dan secara berjenjang mulai dari kelurahan, kecamatan dan Bapenda sendiri.
Dari faktor tersebut, dengan keberadaan Korsupgah-KPK bersama Satpol PP Kota Makassar dan Bank Sulsel membentuk Tim Buser Pajak. Walaupun sesungguhnya Satpol PP tidak disebutkan dalam SK Walikota tetapi dengan berdasar kepada Tugas dan Fungsi (Tusi) yang melakukan penegakan peraturan daerah, peraturan walikota, ranah pokok keberadaan satpol PP menjadi keniscayaan.
Dalam Perwali No 28 Tahun 2019 tentang Pembayaran dan Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Secara Sistem Online.
Dengan penggunaan alat rekam pajak yang hingga saat ini telah terpasang 371 dan diharapkan akan ditambah 600 hingga akhir tahun ini, maka setiap pelaku usaha harus melakukan perekaman transaksi konsumen.
Ada hal yang membuat tim Buser Pajak yang kemudian mengambil alih pemasangan alat ini, penemuan lapangan banyak alat rekam yang justru terpasang pada jenis usaha kecil, omzet terbatas, sementara yang beromset besar malah belum ada alat. Ketika di tanya pelaku usaha nya dengan cara apa dia menentukan besaran pajak yang dibayarkan, jawabannya mengagetkan, “kesepakatan” dengan petugas pajak, ada juga yang mengatakan kami ingin di pasangi alat tapi justru tidak diberikan.
Juga ada yang mengaku bahwa pembayaran pajak atas dasar taksasi. Artinya, meskipun konsumennya kurang tetapi karena sudah ditentukan besaran pajak yang harus dibayarkan, maka itulah yang harus dipenuhi. Temuan lapangan ini, merupakan hasil investigasi tim Buser Pajak. Lebih parah lagi, ada pemasangan spanduk atau pamflet di depan tempat usaha bahwa tempat ini sudah menggunakan alat rekam pajak, tetapi setelah diamati struk pembayaran konsumen tidak asa kode dari alat rekam itu, ternyata memang belum memasang alat rekamnya. Ini terjadi di beberapa tempat.
Oleh karena itu Tim Buser Pajak menghimbau kepada konsumen agar jangan membayar pajak 10% itu bila tidak disertai struk pembayaran pajak yang bukan dari alat rekam pajak itu.
Sehubungan dengan hal tersebut, bagi daerah kabupaten/kota ada beberapa hal yang perlu diperhatikan di dalam upaya peningkatan pendapatan asli daerah dengan sumber pajak yang telah ditetapkan dalam undang undang , antara lain.
Pertama, hendaknya alat rekam pajak yang saat ini sedang digalakkan oleh pemerintah daerah tidak melakukan pemilahan atau besar kecil usaha yang dilakukan oleh masyarakat, kedua, mendorong tumbuhnya obyek pajak baru dari jenis usaha yang dilakukan oleh masyarakat atau pelaku usaha, ketiga, petugas pajak tidak bermain main dalam menentukan kompensasi pajak yang harus dikenakan kepada wajib pajak. Jangan ada lagi transaksi di bawah tangan, keempat, agar lebih efektif dan efisiensi dalam penangihan, pemantauan melibatkan Korsupgah-KPK, sehingga supervisi dan pencegahan dapat secara dini dapat dilakukan.