Oleh : M. Ridha Rasyid
(Praktisi dan Pemerhati Pemerintahan)
PORTALMAKASSAR.COM – Dua sisi menarik melihat kenyataan demokrasi dalam pemilihan kepala daerah secara langsung sejak tahun 2004, yang hingga tidak mengalami perubahan walaupun semestinya perlu adanya pembaharuan sistem itu.
Pertama, pemberlakuan otonomi daerah sejak tahun 2001, yang dimaknai dengan pemberlakuan UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang rohnya memberikan kewenangan luas kepada daerah untuk mengurus daerahnya dengan pelimpahan sejumlah urusan yang tadinya berada di pemerintah pusat, termasuk dalam menentukan kepala daerah yang dipilih melalui DPRD setempat (belum diberlakukan pemilihan langsung, karena menurut undang undang ini, kepala daerah silih melalui peminjam kepala daerah oleh dprd dengan asumsi bahwa mekanisme itu lebih sederhana dalam pelbagai aspek dampak yang ditimbulkan, serta masih bernuansa demokrasi) agar penyelenggaraan pemerintahan berlangsung dengan baik, tanpa ada gejolak sosial yang terlalu luas.
Yaitu terbukanya ruang bagi rakyat untuk memilih dan menentukan kepala daerahnya sesuai kebutuhan dan kepentingan rakyat setempat.
Kedua, terjadinya krisis kepemimpinan, sehingga memunculkan klan dinasti ataupun bentuk lainnya berupa calon tunggal dengan diharuskan melawan kotak kosong. Kotak kosong dalam proses demokrasi merupakan keanehan. Ini tidak habis pikir bagi saya, bagaimana bisa demokrasi dimaknakan dengan adanya penciptaan sistem yang justru tidak ada di alam demokrasi. Walaupun sejarah mencatat kotak kosong pernah memenangkan pilkada. Contoh kasus di Makassar. Tetapi, imbasnya terjadi kekosongan kepala daerah definitif. Apakah itu kemudian dapat dinilai bahwa mekanisme peng-adakan Kotak Kosong itu bagian dari demokrasi ataupun aspek lain dari pemilihan yang tidak punya alternatif calon? Saya kira tidak. Juga tidak rasional.
Dalam demokrasi yang salah satunya dipraktekkan melalui pemilihan kepala pemerintahan di pelbagai negara di dunia, hanya ada calon independen sekalian yang diusung partai politik.
Saya hingga saat ini belum melihat contoh baik praktek pemilihan selain calon tunggal dengan lawannya kotak kosong. Artinya, jika memang tidak ada calon lain, maka itulah yang dipilih oleh rakyat. Tidak ada yang lain.
Ada beberapa resiko pemberlakuan kotak kosong itu, pertama, ini merupakan “lelucon” demokrasi, yang pada akhirnya penyelenggara, kpu, bawaslu dan pemerintah harus membuat aturan untuk itu.
Mengada adakan sesuatu yang sejatinya tidak perlu diatur, kedua, tidak memberi manfaat dan keuntungan untuk tumbuhnya demokrasi yang sehat. Tentu kita semua tahu, dengan melawan kotak kosong itu, calon tunggal itu lebih leluasa menggunakan kapital untuk “menyuap” konstituen pemilih.
Dengan hanya menghamburkan fulus minim, dia sudah menarik pemilih. Toh, tidak calon lain yang dapat memberinya selain dari calon tunggal itu. Ini cara berfikir sederhana masyarakat, yang sesungguhnya belum siap berdemokrasi secara sehat (dengan komitmen tidak menjual kedaulatan rakyat yang dimilikinya), ketiga biaya penyelenggaraan, mulai dari kertas suara hingga saksi untuk kosong itu harus dianggarkan. Ini pemborosan anggaran yang tidak memberi manfaat bagi tumbuhnya demokrasi.
Walaupun, ada pihak menilai bahwa demokrasi kita ini adalah demokrasi ala Indonesia. Maksudnya tidak harus demokrasi yang berlaku universal. Ini aneh lagi, keempat, ketika kotak kosong itu menang, maka harus dilakukan pemilihan lagi, yang dimulai dari awal.
Kerugiannya, daerah yang diunggulkan oleh kotak kosong itu harus diisi oleh pejabat kepala daerah di bawah kendali gubernur (itu hierarki keberadaan pemerintah propinsi sebagai wakil pemerintah pusat di daerah) yang dengan itu punya kewenangan terbatas, juga pembangunan bisa terhambat serta tidak punya visi dan misi sebagai pedoman dalam penyusunan RPJMD, kelima, proses penyegaran aparatur sipil negara juga mengalami kendala.
Padahal kita tahu bahwa banyak pejabat, misalnya, yang harus pensiun, ada yang sakit atau ada yang berbasis hukum, yang karenanya harus di ganti. Ini mungkin hal hal yang tidak menjadi pertimbangan penyusun undang undang maupun dalam pengambilan keputusan tatkala ada pertimbangan asumsi bahwa tidak boleh ada calon yang tidak punya lawan. Harus ada. Meski itu kotak kosong.
Mungkin memang ini demokrasi ala Indonesia.
Wallahu a’lam bisshawab