PORTALMAKASSAR.COM – Pertegahan Oktober, jagad maya dihebohkan dengan pencopotan beberapa anggota TNI disebabkan ciutan istri mereka di media sosial terkait kasus penusukan mantan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Wiranto. Adalah seorang Kodim Kendari dan dua anggota TNI lain yang disanksi atas cuitan istri masing–masing mereka. Tak tanggung-tanggung, sanksi yang diberikan kepada mereka berujung pada pencopotan jabatan ditambah penahanan selama empat belas hari (Kontan.co.id, 12/10/2019).
Belum usai berita viralnya anggota TNI yang dicopot, masyarakat kembali mendengar kabar pencopotan seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) di Kementerian Hukum dan HAM wilayah Balikpapan. Alasannya hampir sama yaitu unggahan di media sosial, namun kali ini bukan terkait peristiwa penusukan yang menimpa Menkopolhukam melainkan terkait konten unggahan pro Khilafah. ASN Kemenkumham tersebut mengunggah kalimat yang berbunyi “Era Kebangkitan Khilafah Telah Tiba”. Kalimat inilah yang mengantarkan ASN tersebut ke gerbang pencopotan jabatan.
Terkait unggahan tersebut, Menkumham, Tjahjo Kumolo menyatakan bahwa akan me-nonjob-kan para pegawai di bawah lingkup kementeriannya apabila mempermasalahkan ideologi Pancasila dan menyebarkan ideologi selain Pancasila (detik.com, 16/10/2019).
Kasus yang menimpa tiga anggota TNI dan seorang ASN di Kemenkumham menunjukkan keambiguan rezim dalam sistem demokrasi. Bagaimana tidak, kebebasan berpendapat yang merupakan hal yang dijunjung tinggi oleh sistem demokrasi malah dihianati di dalam sistem demokrasi sendiri.
Demonstrasi mahasiswa yang mengkritik berbagai kebijakan pemerintah selalu dihadapkan dengan persenjataan lengkap aparat dan juga gas air mata, tokoh masyarakat yang mengkritik penguasa melalui sosial media dijerat dengan UU ITE, para ulama yang konsisten mengoreksi penguasa dikriminalisasi dengan berbagai dalih. Masyarakat seolah dipaksa untuk hanya taat pada setiap kebijakan penguasa tanpa boleh sedikit saja berasumsi. Lalu ke mana kebebasan berpendapat dalam sistem demokrasi? Apakah itu hanya ilusi?
Nampaknya itulah tabiat asli demokrasi. Sebab kedaulatan rakyat yang dianggap sebagai asas demokrasi hanya nampak pada saat pemilu namun setelah para wakil rakyat terpilih, peran rakyat tidak ada lagi semuanya terwakilkan oleh para wakil mereka. Hingga kita melihat berbagai kebijakan politik yang diambil oleh para wakil rakyat sangat jarang mempertimbangkan kebutuhan rakyat. Yang ada kebijakan yang diambil oleh para wakil rakyat justru selalu menguntungkan segelintir orang saja yaitu wakil rakyat dan para pejabat partai di mana wakil rakyat berasal.
Inilah ironi masyarakat yang bergantung pada sistem demokrasi. Mereka yang disayang pada saat pemilu kemudian dibuang setelah pemilu. Bahkan hanya untuk mengkritik wakil mereka saja, rakyat harus siap berhadapan dengan berbagai dalil yang akan menggiring mereka ke jeruji besi.
Suasana yang kontras nampak pada masyarakat yang berada dalam sistem pemerintahan Islam. Bukan dilarang bahkan menjadi kewajiban bagi rakyat untuk memuhasabah (mengoreksi) penguasa.
Sebagaimana dikisahkan pada masa kepemimpinan ketiga umat muslim, yaitu pada masa kekhalifahan Umar Bin Khattab. Pernah suatu ketika Umar Bin Khattab menyampaikan peraturan terkait mahar wanita, yang mana setelah umat menyampaikan hal tersebut maka datanglah seorang perempuan yang mengoreksi kebijakan yang disampaikan oleh sang Khalifah. Melihat bahwa yang disampaikan oleh wanita tersebut memang benar maka Umar kembali ke atas mimbar untuk membetulkan kesalahan yang telah ia sampaikan. Bahkan tanpa malu ia berkata bahwa “setiap orang lebih paham agama dari pada Umar”.
Hal ini menunjukkan bahwa sistem Islam bukan sistem pemeritahan anti kritik namun sistem yang justru mewajibkan masyarakat untuk memberi muhasabah kepada penguasa dengan ukuran yang baku yaitu syariat Islam. Jadi saat seorang penguasa tidak menjalankan pemerintahan sesuai dengan syariat Islam, maka kewajiban bagi masyarakat untuk mengingatkan.